Ada sebagian
kecil dari kelompok baru yang muncul di akhir zaman ini mensifatkan
Allah bertempat serupa dengan makhluk ciptaanNya. Kelompok minoritas
yang menamakan dirinya sebagai Salafi atau Muwahhidun itu berkeyakinan bahwa Allah berada di atas langit atau Allah bersemayam di ‘Arsy.
Ketahuilah ini adalah aqidah sesat Tasybih dan Tajsim yang menjadi
pembeda jelas antara golongan Salafi (Wahabi) dengan golongan
Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Sejak dahulu hingga sekarang tidak ada
satu pun dari para Sahabat Nabi dan ulama ahlussunnah yang berkeyakinan
Allah berada di langit atau Allah berada di atas ‘Arsy. Maha Suci Allah
atas apa yang mereka sifatkan itu.
Berikut ini kami paparkan penjelasan dan
pernyataan dari para sahabat Rasulullah SAW dan para ulama dari empat
madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), serta para ulama lainya
dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dalam penjelasan kesucian Allah
dari menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat
dan tanpa arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena
bila kita hendak mengutip seluruh perkataan mereka maka akan membutuhkan
ratusan lembar halaman. Namun, setidaknya ini sebagai bukti untuk
memperkuat akidah kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap
keyakinan-keyakinan yang menyalahinya.
1. Al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) berkata:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَان وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَليْه كَانَ
“Allah ada tanpa permulaan dan tanpa
tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap
sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat” (Diriwayatkan
oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h.
333).
Beliau juga berkata:
إنّ اللهَ خَلَقَ العَرْشَ إْظهَارًا لِقُدْرَتهِ وَلَمْ يَتّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ
“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy
(makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan
kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya”
(Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain
al-Firaq, h. 333).
2. Seorang tabi’in yang agung, Al-Imam Zainal-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata:
أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ يَحْويْكَ مَكَانٌ
“Engkau wahai Allah yang tidak diliputi
oleh tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf
as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380).
Juga berkata:
أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ تُحَدُّ فَتَكُوْنَ مَحْدُوْدًا
“Engkau wahai Allah yang Maha Suci dari
segala bentuk dan ukuran” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi
dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h.
380).
3. Al-Imam Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal ‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain (w 148 H) berkata:
مَنْ
زَعَمَ أنّ اللهَ فِي شَىءٍ أوْ مِنْ شَىءٍ أوْ عَلَى شَىءٍ فَقَدْ
أشْرَكَ، إذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَىءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً وَلَوْ كَانَ فِي
شَىءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا
(أىْ مَخْلُوْقًا)
“Barang siapa berkeyakinan bahwa Allah
berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu maka ia
adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu
maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia
terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu -makhluk-”
(Diriwayatkan oleh al-Imam al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah,
h. 6).
4. Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama salaf terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata:
وَاللهُ
تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي
الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ
يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.
“Allah ta’ala di akhirat kelak akan
dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga
dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan
bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak
antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak
di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan,
samping kanan ataupun samping kiri)” (Lihat al-Fiqhul Akbar karya Imam
Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla ‘Ali al-Qari, h. 136-137).
Juga berkata:
قُلْتُ:
أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى
وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى
وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada
orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan
dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada
tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum
segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat
al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan
risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Juga berkata:
وَنُقِرّ
بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ
أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ
العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ
مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ
كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ
فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ
عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Dan kita mengimani adanya ayat
“ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam
al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada ‘‘arsy
tersebut dan tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang
memelihara ‘‘arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena
jika Allah membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk
menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh
makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas
sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah Dia? Allah
Maha Suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah
dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid
al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam
Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).
Perkataan Imam Abu Hanifah ini adalah ungkapan yang sangat jelas dalam bantahan
terhadap pendapat kaum Musyabbihah dan kaum Mujassimah, termasuk
kelompok yang bernama Wahhabiyyah sekarang; mereka yang mengaku sebagai
kelompok Salafi. Kita katakan kepada mereka: Para ulama salaf telah
sepakat mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Salah
satunya adalah Imam Abu Hanifah yang merupakan salah seorang terkemuka
di kalangan mereka. Beliau telah mendapatkan pelajaran dari para ulama
tabi’in, dan para ulama tabi’in tersebut telah mengambil pelajaran dari
para sahabat Rasulullah.
Adapun ungkapan Imam Abu Hanifah yang
menyebutkan bahwa telah menjadi kafir seorang yang berkata “Aku tidak
mengetahui Tuhanku, apakah ia di langit atau di bumi!?”, demikian pula
beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah di atas ‘arsy, dan aku
tidak tahu arah ‘arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”, hal ini
karena kedua ungkapan tersebut menetapkan adanya tempat dan arah bagi
Allah. Karena itu Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang mengatakan
demikian. Karena setiap yang membutuhkan kepada tempat dan arah maka
berarti ia adalah pastilah sesuatu yanga baharu. Maksud ungkapan Imam
Abu Hanifah tersebut bukan seperti yang disalahpahami oleh orang-orang
Musyabbihah bahwa Allah berada di atas langit atau di atas ‘arsy. Justru
sebaliknya, maksud ungkapan beliau ialah bahwa Allah ada tanpa tempat
dan tanpa arah, sebagaimana dalam ungkapan-ungkapan beliau sendiri yang
telah kita tulis di atas.
Maksud dua ungkapan Imam Abu Hanifah di
atas juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam
kitabnya Hall ar-Rumuz. Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan
orang mengatakan dua uangkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu
memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang
berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang
Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)”
(Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198).
Pernyataan Imam al-‘Izz ibn ‘Abd
as-Salam ini juga dikuatkan oleh as-Syekh Mulla ‘Ali al-Qari. Ia
berkata: “Tanpa diragukan lagi bahwa al-Izz ‘ibn ‘Abdissalam adalah
orang yang paling paham terhadap maksud dari perkataan Imam Abu Hanifah
tersebut. Karenanya kita wajib membenarkan apa yang telah beliau
nyatakan” (Lihat Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h.
198).
5. Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H), perintis madzhab Syafi’i, dalam salah satu kitab karyanya, al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, menuliskan:
(فصل)
وَاعْلَمُوْا أنّ اللهَ تَعَالَى لاَ مَكَانَ لَهُ، وَالدّلِيْلُ عَلَيْهِ
هُوَ أنّ اللهَ تَعَالَى كَانَ وَلاَ مَكَانَ فَخَلَقَ الْمَكَانَ وَهُوَ
عَلَى صِفَةِ الأزَلِيّةِ كَمَا كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ الْمَكَانَ لاَ
يَجُوْزُ عَلَيْهِ التَّغَيُّرُ فِي ذَاتِهِِ وَلاَ التَّبَدُّلُ فِي
صِفَاتِهِ، وَلأنّ مَنْ لَهُ مَكَانٌ فَلَهُ تَحْتٌ، وَمَنْ لَهُ تَحْتٌ
يَكُوْنُ مُتَنَاهِي الذّاتِ مَحْدُوْدًا، وَالْمَحْدُوْدُ مَخْلُوْقٌ،
تَعَالَى اللهُ عَنْ ذلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا، ولِهذَا الْمَعْنَى
اسْتَحَالَ عَليْه الزّوْجَةُ وَالوَلدُ، لأنّ ذلِك لاَ يَتِمّ إلاّ
بالْمُبَاشَرَةِ والاتّصَالِ والانْفِصَال.
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat.
Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa
tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang
azali sebelum Dia menciptakan tempat; yaitu ada tanpa temapt. Tidak
boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya
maupun pad asifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia
pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki
bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu yang memiliki batasan pasti
sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua. Karena itu
mustahil pada haknya terdapat istri dan anak. Sebab hal semacam itu
tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan
terpisah. Allah mustahil pada-Nya sifat terbagi-bagi dan terpisah-pisah.
Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah.
Oleh sebab itu adanya istilah suami, astri dan anak pada hak Allah
adalah sesuatu yang mustahil” (Lihat al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh
al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama
dalam pembahasan firman Allah QS. Thaha: 5, al-Imam as-Syafi’i
menuliskan sebagai berikut:
فَإنْ
قِيْل: أليْسَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى (الرّحْمنُ عَلَى العَرْشِ
اسْتَوَى)، يُقَال: إنّ هذِهِ الآيَة مِنَ الْمُتَشَابِهَاتِ، وَالّذِيْ
نَخْتَارُ مِنَ الْجَوَابِ عَنْهَا وَعَنْ أمْثَالِهَا لِمَنْ لاَ يُرِيْدُ
التّبَحُّر فِي العِلْمِ أنْ يُمِرَّ بِهَا كَمَا جَاءَتْ وَلاَ يَبْحَثُ
عَنْهَا وَلاَ يَتَكَلّمُ فيْهَا لأنّهُ لاَ يَأمَنُ مِنَ الوُقُوْعِ فِي
وَرَطَةِ التّشْبِيْهِ إذَا لَمْ يَكُنْ رَاسِخًا فِي العِلْمِ، وَيَجِبُ
أنْ يَعْتَقِدَ فِي صِفَاتِ البَارِي تَعَالَى مَاذَكَرْنَاهُ، وَأنّهُ لاَ
يَحْويْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِي عَليْهِ زَمَانٌ، مُنَزَّهٌ عَنِ
الحُدُوْدِ وَالنّهَايَاتِ، مُسْتَغْنٍ عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَاتِ،
وَيَتَخَلَّصُ مِن َالمَهَالِكِ وَالشُّبُهَاتِ.
“Jika dikatakan bukankah Allah telah
berfirman: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa”? Jawab: Ayat ini termasuk
ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat
yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki
kompetensi dalam bidang ini agar supaya mngimaninya dan tidak secara
mendetail membahasnya atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak
memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia akan jatuh
dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga seluruh
orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita
sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku
atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk
dan segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan
arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan
kesesatan” (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
6. Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal
(w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli
tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau
adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini
as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:
وَمَا
اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ الأعْظَمِ
الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ نَحْوِهَا
فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ.
“Apa yang tersebar di kalangan
orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa
beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh
hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya”
(Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144).
Baca juga: Memahami Ayat-Ayat Mutasyabihat Dengan Benar.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar