Karakteristik Ahlus Sunnah wal Jamaah
I. PENGERTIAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
ASWAJA sesungguhnya identik dengan pernyataan nabi "Ma Ana 'Alaihi wa
Ashabi" seperti yang dijelaskan sendiri oleh Rasululloh SAW dalam sebuah
hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud
bahwa :"Bani Israil terpecah belah menjadi 72 Golongan dan ummatku akan
terpecah belah menjadi 73 golongan, kesemuanya
masuk nereka kecuali satu golongan". Kemudian para sahabat bertanya ;
"Siapakah mereka itu wahai rasululloh?", lalu Rosululloh menjawab :
"Mereka itu adalah Maa Ana 'Alaihi wa Ashabi" yakni mereka yang
mengikuti apa saja yang aku lakukan dan juga dilakukan oleh para
sahabatku.
Dalam hadist tersebut Rasululloh SAW menjelaskan
bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang
dilakukan oleh Rasululloh dan para sahabatnya. Pernyataan nabi ini tentu
tidak sekedar kita maknai secara tekstual, tetapi karena hal tersebut
berkaitan dengan pemahaman tentang ajaran Islam maka "Maa Ana 'Alaihi wa
Ashabi" atau Ahli Sunnah Waljama'ah lebih kita artikan sebagai "Manhaj
Au Thariqoh fi Fahmin Nushus Wa Tafsiriha" ( metode atau cara memahami
nash dan bagaimana mentafsirkannya).
Dari pengertian diatas
maka Ahli Sunnah Wal Jama'ah sesungguhnya sudah ada sejak zaman
Rasululloh SAW. Jadi bukanlah sebuah gerakan yang baru muncul diakhir
abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah yang dikaitkan dengan lahirnya kosep Aqidah
Aswaja yang dirumuskan kembali (direkonstuksi) oleh Imam Abu Hasan
Al-Asy'ari (Wafat : 935 M) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (Wafat : 944
M) pada saat munculnya berbagai golaongan yang pemahamannya dibidang
aqidah sudah tidak mengikuti Manhaj atau thariqoh yang dilakukan oleh
para sahabat, dan bahkan banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan
politik dan kekuasaan.
II. RUANG LINGKUP KERANGKA BERFIKIR ASWAJA
Ahli Sunnah wal Jama'ah meliputi pemahaman dalam tiga bidang utama,
yakni bidang Aqidah, Fiqh dan Tasawwuf. Ketiganya merupakan ajaran Islam
yang harus bersumber dari Nash Qur'an maupun Hadist dan kemudian
menjadi satu kesatuan konsep ajaran ASWAJA.
Dilingkunagn ASWAJA
sendiri terdapat kesepakatan dan perbedaan. Namun perbedaan itu sebatas
pada penerapan dari prinsip-prinsip yang disepakati karena adanya
perbedaan dalam penafsiran sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ushulul
Fiqh dan Tafsirun Nushus. Perbedaan yang terjadi diantara kelompok Ahli
Sunnah Wal Jama'ah tidaklah mengakibatkan keluar dari golongan ASWAJA
sepanjang masih menggunakan metode yang disepakati sebagai Manhajul
Jami' . Hal ini di dasarkan pada Sabda Rosululloh SAW. Yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari Muslim : "Apabila seorang hakim berijtihad kemudian
ijtihadnya benarmaka ia mendapatkan dua pahala, tetapi apabila dia salah
maka ia hanya mendapatkan satu pahala". Oleh sebab itu antara kelompok
Ahli Sunnah Wal Jama'ah walaupun terjadi perbedaan diantara mereka,
tidak boleh saling mengkafirkan, memfasikkan atau membid'ahkan.
Adapun kelompok yang keluar dari garis yang disepakati dalam
menggunakan Manhajul jami' yaitu metode yang diwariskan oleh oleh para
sahabat dan tabi'in juga tidak boleh secara serta merta mengkafirkan
mereka sepanjang mereka masih mengakui pokok-pokok ajaran Islam, tetapi
sebagian ulama menempatkan kelompok ini sebagai Ahlil Bid'ah atau Ahlil
Fusuq. Pendapat tersebut dianut oleh antara lain KH. Hasyim Asy'ari
sebagaimana pernyataan beliau yang memasukkan Syi'ah Imamiah dan
Zaidiyyah termasuk kedalam kelompok Ahlul Bid'ah.
III. KERANGKA PENILAIAN ASWAJA
Ditinjau dari pemahaman diatas bahwa didalam konsep ajaran Ahli Sunnah
Wal Jama'ah terdapat hal-hal yang disepakati dan yang diperselisihkan.
Dari hal-hal yang disepakati terdiri dari disepakati kebenarannya dan
disepakati penyimpangannya.
Beberapa hal yang disepakati kebenarannya itu antara lain bahwa;
1. Ajaran Islam diambil dari Al-Qur'an, Hadist Nabi serta ijma' (kesepakatan para sahabat/Ulama)
2. Sifat-sifat Allah seperti Sama', Bashar dan Kalam merupakan sifat-sifat Allah yang Qodim.
3. Tidak ada yang menyerupai Allah baik dzat, sifat maupun 'Af'alnya.
4. Alloh adalah dzat yang menjadikan segala sesuatu kebaikan dan
keburukan termasuk segala perbuatan manusia adalah kewhendak Allah, dan
segala sesuatu yang terjadi sebab Qodlo' dan Qodharnya Allah.
5.
Perbuatan dosa baik kecil maupun besar tidaklah menyebabkan orang muslim
menjadi kafir sepanjang tidak mengingkari apa yang telah diwajibkan
oleh Allah atau menghalalkan apa saja yang diharamkan-Nya.
6
Mencintai para sahabat Rasulillahmerupakan sebuah kewajiban, termasuk
juga meyakini bahwa kekhalifahan setelah Rasulillah secara
berturut-turut yakni sahabat Abu Bakar Assiddiq, Umar Bin Khattab,
Ustman Bin "Affan dan Sayyidina "Ali Bin Abi Thalib.
7. Bahwa Amar
ma'ruf dan Nahi mungkar merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
setiap muslim termasuk kepada para penguasa.
Hal-hal yang disepakati kesesatan dan penyimpangannya antara lain :
1. Mengingkari kekhalifahan Abu Bakar Assiddiq dan Umar Bin Khattab
kemudian menyatakan bahwa Sayyidina Ali Bin Abi Thalib memperoleh
"Shifatin Nubuwwah" (sifat-sifat kenabian) seperti wahyu, 'ismah dan
lain-lain.
2. Menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar
adalah kafir dan keluar dari Islam seperti yang dianut oleh kalangan
Khawarij, bahkan mereka mengkafirkan Sayyidina Ali karena berdamai
dengan Mu'awiyah.
3. Perbuatan dosa betapapun besarnya tidaklah
menjadi masalah serta tidak menodai iman. Pendapat ini merupakan
pendapat kaum murji'ah dan Abahiyyun.
4. Melakukan penta'wilan
terhadap Nash Al-Qur'an maupun Hadist yang tidak bersumber pada
kaidah-kaidah Bahasa Arab yang benar. Seperti menghilangkan sifat-sifat
ilahiyyah (Ta'thil) antara lain menghilangkan Al-Yad, Al-Istiwa',
Al-Maji' padahal disebut secara sarih (jelas) dalah ayat suci Al-Qur'an,
hanya dengan dalih untuk mensucikan Allah dari segala bentuk
penyerupaan (tasybih)
IV. PERKEMBANGAN AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
Pada periode pertama, yakni periode para sahabat dan tabi'in pada
dasarnya memiliki dua kecenderungan dalam menyikapi berbagai
perkembangan pemikiran dalam merumuskan konsep-konsep keagamaan,
terutama yang menyangkut masalah Aqidah. Kelompok pertama senantiasa
berpegang teguh kepada nash Qur'an dan Hadist dan tidak mau
mendiskusikannya. Kelompok ini dipelopori oleh antara lain; Umar Bin
Khottob, 'Abdulloh Bin 'Umar, Zaid Bin Tsabit Dan lain-lain. Sedangkan
dari kalangan tabi'in tercatat antara lain Sofyan Tsauri, Auza'I, Malik
Bin Anas, dan Ahmad Bin Hambal. Jika mereka menyaksiksn sekelompok orang
yang berani mendiskusikan atau memperdebatkan masalah-masalah aqidah,
mereka marah dan menyebutnya sebagai melakukan "Bid'ah Mungkarah" .
Adapun kelompok yang kedua adalah kelompok yang memilih untuk melakukan
pembahasan dan berdiskusi untuk menghilangkan kerancuan pemahaman serta
memelihara Aqidah Islamiyah dari berbagai penyimpangan. Diantara yang
termasuk dalam kelompok ini adalah antara lain ; Ali Bin Abi Thalib,
'Abdulloh Bin 'Abbas dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan tabi'in
tercatat antara lain Hasan Bashri, Abu Hanifah, Harish Al-Muhasibi dan
Abu Tsaur.
Kelompok kedua ini juga merasa terpanggil untuk
menanggapi berbagai keadaan yang dihadapi baik yaang menyangkut masalah
Aqidah, Fiqh maupun Tasawuf karena adanya kekhawatiran terhadap
munculnya dua sikap yang ekstrim. Pertama adalah kelompok yang terlampau
sangat hati-hati yang kemudian disebut sebagai "Kelompok Tafrith"
Kelompok ini memahami agama murni mengikuti Rasulillah dan para
sahabatnya secara tekstual. Mereka tidak mau memberikan ta'wil atau
tafsir karena kuawatir melampaui batas-batas yang diperbolehkan.
Sedangkan yang kedua yaitu kelompok yang menggunakan kemaslahatan dan
menuruti kebutuhan perkembangan secara berlebihan dan kelompok ini
disebut dengan "kelompok Ifrath"
Dalam berbagai diskusi dan
perdebatan, kelompok kedua ini tidak jarang menggunakan dalil-dalil
manthiqi (deplomasi) dan ta'wil majazi. Pendekatan ini terpaksa
dilakukan dalam rangka memelihara Aqidah dari penyimpangan dengan
menggunakan cara-cara yang dapat difahami oleh masyarakat banyak ketika
itu, namun tetap berjalan diatas manhaj sahaby sesuai dengan anjuran
Nabi dalam sebuah sabdanya : "Kallimunnas Bima Ya'rifuhu Wada'u
Yunkiruna. Aturiiduna ayyukadzibuhumuLlahu wa rasuluh" (Bicaralah kamu
dengan manusia dengan apa saja yang mereka mampu memahaminya, dan
tinggalkanlah apa yang mereka ingkari. Apakah kalian mau kalau Allah dan
Rasul-Nya itu dibohongkan?. Sebuah hadis marfu' yang diriwayatkan oleh
Abu Mansur Al-Dailami, atau menurut Imam Bukhari dimauqufkan kepada
Sayyidina Ali RA.
Strategi dan cara yang begitu adaptif inilah
yang terus dikembangkan oleh para pemikir Ahli Sunnah Wal Jama'ah dalam
merespon berbagai perkembangan sosial, agar dapat menghindari berbagai
benturan antara teks-teks agama dengan kondisi sosial masyarakat yang
berubah-rubah.
Sehubungan dengan strategi ini, mengikuti
sahabat bukanlah dalam arti mengikuti secara tekstual melainkan
mengikuti Manhaj atau metode berfikirnya para sahabat. Bahkan menurut
Imam Al-Qorofi, kaku terhadap teks-teks manqulat (yang langsung dinuqil
dari para sahabat) merupakan satu bentuk kesesatan tersendiri, karena ia
tidak akan mampu memahami apa yang dikehendaki oleh Ulama-ulama Salaf..
(Al-jumud 'Alal mankulat Abadab dhalaalun Fiddiin wa Jahlun Bimaqooshidi Ulamaa'il Muslimin wa Salafil Maadhin)
V. KEBANGKITAN (AN-NAHDHAH) AHLI SUNNAH WALJAMA'AH
Sebagaimana dinyatakan dimuka, bahwa ASWAJA sebenarnya bukanlah madzhab
tetapi hanyalah Manhajul Fikr (metodologi berfikir) atau faham saja
yang didalamnya masih memuat banyak alaiaran dan madzhab. Faham tersebut
sangat lentur, fleksibel, tawassuth, I'tidal, tasamuh dan tawazun. Hal
ini tercermin dari sikap Ahli Sunnah Wal Jama'ah yang mendahulukan Nash
namun juga memberikan porsi yang longgar terhadap akal, tidak mengenal
tatharruf (ekstrim), tidak kaku, tidak jumud (mandeg), tidak eksklusif,
tidak elitis, tidak gampang mengkafirkan ahlul qiblat, tidak gampang
membid'ahkan berbagai tradisi dan perkara baru yang muncul dalam semua
aspek kehidupan, baik aqidah, muamalah, akhlaq, sosial, politik, budaya
dan lain-lain.
Kelenturan ASWAJA inilah barangkali yang bisa
menghantarkan faham ini diterima oleh mayoritas umat Islam khususnya di
Indonesia baik mereka itu orng yang ber ORMASkan NU, Muhammadiah, SI,
Sarekat Islam maupun yang lainnya.
Wal hasil salah satu
karakter ASWAJA yang sangat dominan adalah "Selalu bisa beradaptasi
dengan situasi dan kondisi". Langkah Al-Asy'ari dalam mengemas ASWAJA
pada masa paska pemerintahan Al-Mutawakkil setelah puluhan tahun
mengikuti Mu'tazilah merupakan pemikiran cemerlang Al-As'ari dalam
menyelamatkan umat Islam ketika itu. Kemudian disusul oleh Al-Maturidi,
Al-Baqillani dan Imam Al-Juwaini sebagai murid Al-Asyari merumuskan
kembali ajaran ASWAJA yang lebih condong pada rasional juga merupakan
usaha adaptasi Ahli Sunnah Wal Jama'ah. Begitu pula usaha Al-Ghazali
yang menolak filsafat dan memusatkan kajiannya dibidang tasawwuf juga
merupakan bukti kedinamisan dan kondusifnya Ajaran ASWAJA. Hatta
Hadratus Syaikh KH. Hasim Asy'ari yang memberikan batasa ASWAJA
sebagaimana yang dipegangi oleh NU saat ini sebenarnya juga merupakan
pemikiran cemerlang yang sangat kondusif.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar